Berikut ini transkrip kajian dari kitab Hadits Arba’in An–Nawawiyah dengan pemateri Ustadz Abu Salman Hafidzahullah di masjid Muthoharoh Ngebel, Tamantirto, Selatan Kampus UMY. Semoga dapat memberikan manfaat bagi kita dan mendatangkan pahala di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kaum Muslimin yang mempelajarinya.
HADITS KE-1
SETIAP AMAL TERGANTUNG DARI NIATNYA
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Al–Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena perkara dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”
(Riwayat dua imam ahli hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam dua kitab Shahih mereka, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).
Catatan:
- Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqi” Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata, “Hadits ini merupakan sepertiga Islam.”
- Dikisahkan, bahwa sebab dituturkannya hadits ini, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama: “Ummu Qais” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Penjelasan:
Hadits ini menjelaskan bahwa di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala nanti, amal seseorang itu akan dinilai baik ataupun buruknya melalui amal dzahir dan amalan batin, adapun amalan dzahir dinilai baik apabila ia sesuai dengan tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan amalan batin akan dinilai baik apabila seseorang dalam beribadah ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi apabila amalan dzhahir seseorang sudah sesuai dengan tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam namun ia tidak ikhlas dalam beribadah, tidak ikhlas dalam menghadirkan niat karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka amalannya tersebut tidak diterima atau tertolak, begitu juga sebaliknya.
Sebagai contoh, ada banyak orang yang mengerjakan shalat di dalam masjid, gerakannya sama persis, namun boleh jadi di sisi Allah subhanahu wa ta’ala antara satu dengan yang lainnya berjauhan sejauh langit dan bumi. Hal tersebut dikarenakan perbedaan niat, orang yang shalatnya ikhlas maka amalannya akan diterima dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Imam Yahya bin Abu Katsir rahimahullah berkata “Pelajarilah niat! Sesungguhnya niat itu lebih menyampaikan ke tujuan dari pada amal”. Perkataan Imam Yahya tersebut menunjukkan keutamaan niat yang baik, niat yang ikhlas. Karena betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat dan betapa banyak pula amalan yang besar menjadi kecil karena niat.
Di antara faedah lain dari hadits tersebt ialah bahwa niat adalah pembeda antara satu ibadah dengan ibadah ibadah lainnya. Sebagai contoh ada dua orang yang shalat, sama–sama shalat dua rakaat dan sama–sama dilakukan di masjid bahkan pada waktu yang bersamaan. Namun bisa jadi shalat mereka berbeda, karena yang satu niatnya untuk shalat tahiyatul masjid dan yang satu lagi niatnya untuk shalat qabliyah. Selanjutnya niat juga membedakan antara ibadah dengan adat atau kebiasan. Sebagai contoh, ada dua orang yang mandi di sungai, yang satu niatnya untuk mandi janabah sedangkan yang satunya lagi niatnya hanya untuk mandi seperti biasa, untuk mendapatkan kesegaran dari dinginnya air. Maka terlihatlah perbedaan dari keduanya karena niat.
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada di sisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Hijrah:
- Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
- Meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
- Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan. Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh/dampak dari makna hijrah.